Minggu, 19 Oktober 2014

Ini Alasannya Mengapa Naik Pesawat Tak Perlu Dihantui Ketakutan Ketularan Penyakit Ebola


Ini Alasannya Mengapa Naik Pesawat Tak Perlu Dihantui Ketakutan Ketularan Penyakit Ebola
Tribunnews.com/ Agung Budi Santoso
Sayap pesawat Garuda Indonesia dilihat dari jendela. 
TRIBUNNEWS.COM - AMBER Vinson akhir pekan lalu pulang ke Ohio untuk mempersiapkan pernikahan. Perawat Rumah Sakit Presbyterian Texas, Amerika Serikat itu lalu kembali ke Dallas, Texas dari Cleveland, Ohio, dengan pesawat Frontier Airlines nomor penerbangan 1143. Saat bangun esok paginya, Vinson merasa lelah, mual, dan memeriksakan diri.
Selanjutnya adalah sejarah. Vinson menjadi perawat RS Presbyterian kedua yang terinfeksi ebola setelah rekannya, Nina Pham. Keduanya bergabung dalam tim yang merawat Thomas Eric Duncan, pria asal Liberia yang diketahui terinfeksi ebola tak lama setelah tiba di Texas. Duncan meninggal pada 8 Oktober.
Dugaan bahwa Vinson telah terinfeksi virus itu dalam penerbangan ke Dallas membuat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) ingin memeriksa 132 penumpang di dalam pesawat yang sama. Kecemasan yang beralasan karena pesawat udara adalah ruangan tertutup yang terbatas. Penumpang akan menyentuh permukaan baki makanan, sandaran tangan, atau layar televisi yang juga disentuh penumpang sebelumnya.
Kekhawatiran itu membuat seorang calon penumpang perempuan terlihat mengenakan pakaian pelindung zat berbahaya di Bandara Dulles, Washington DC.
Lalu, seberapa besar peluang penumpang tertular virus ebola di dalam pesawat? Pakar penyakit menular Fakultas Kedokteran Universitas Vanderbilt, William Schaffner, kepada BBC mengatakan, sebenarnya nyaris tidak ada. ”Saya yakin mereka khawatir, tetapi risiko itu pada dasarnya nol,” katanya.
CDC mengakui, risiko penumpang pesawat tertular sangat rendah karena virus ebola bukan virus flu yang menular lewat udara. Schaffner menambahkan, nyaris tak mungkin seseorang terinfeksiebola dari sandaran tangan atau layar sentuh.
Ini karena ebola menular lewat kontak langsung dengan cairan tubuh yang terkontaminasi, seperti darah, air ludah, muntahan, atau tinja. Virus dalam cairan terkontaminasi itu masuk ke tubuh lewat kulit yang terluka, atau selaput mukosa seperti mata, bagian dalam hidung, atau mulut.
”Virus ini ganas jika berada dalam tubuh. Namun, jika berada di permukaan benda mati, dia akan segera mati,” kata Schaffner. Jika tidak bersentuhan dengan tubuh makhluk hidup, virus tersebut tak akan bertahan lama. ”Saya bayangkan tak lebih dari beberapa menit,” ujar Peter Hotez, Dekan Fakultas Kedokteran Tropis Universitas Baylor.
Pengecualiannya adalah pada darah dan sekresi yang terlihat. Panduan CDC mengatasi ebola menyebutkan, karpet atau penutup kursi yang terkena darah atau cairan tubuh penderita harus diperlakukan sama seperti zat biologis berbahaya.
Arnold Monto, profesor epidemiologi Universitas Michigan, mengatakan, permukaan basah lebih mungkin menjadi tempat hidup virus daripada permukaan kering. Namun, seseorang yang berbagi sandaran tangan di pesawat tak perlu terlalu khawatir.
”Keringat tidak terlalu efisien menularkan ebola,” ujarnya. Penularan virus tak akan efektif hingga penderita memperlihatkan gejala jelas. ”Penderita ebola tidak menularkan kepada orang lain hingga mereka sakit,” kata Schaffner.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar